Pagi hari 10 November 1945
mendung menggantung di langit Surabaya
karena ultimatum telah habis waktunya
sedang pejuang dan rakyat tak menggubrisnya.
Pejuang berjaga di seantero kota
tak sudi dihina lagi oleh Belanda
yang membonceng tentara NICA
lalu berkuasa kembali di bumi tercinta.
Hingga tiba pada waktunya
bom dimuntahkan dari udara
lalu meluluhlantakkan segalanya
karena NICA yang murka.
Tentara dan tank Inggris menggempur Surabaya dari darat dan laut meriam membombardir kota
tapi pejuang tak gentar menghadapinya
dengan semangat baja menggelora di dada.
Tentara pejuang, milisi, kiai, dan santri
berlaga demi tegaknya ibu pertiwi
dengan teriakan Allah Akbar berkali-kali
dilambari tekad yang tak lagi mati.
Dengan bambu runcing dan senjata seadanya
para pejuang merangsek tentara gurka
Bung Tomo membakar semangat mereka
hingga pertempuran makin membinasa.
Teriakan Allah Akbar terus mengumandang
menyemangati mereka di medan perang
tak penting kalah atau menang
karena republik ini mesti tetap terpancang.
Pertempuran berkobar hingga tiga minggu
meminta korban beribu-ribu
membuat hati menjadi pilu
dan langit pun menjadi kelabu.
Darah tertumpah di Surabaya
mengalir sendu ke mana-mana
aromanya wangi serupa bunga
menjadi pupuk Indonesia merdeka.
Puisi Karya: Syukur Budiardjo
Kategori Puisi: Puisi Perjuangan
mendung menggantung di langit Surabaya
karena ultimatum telah habis waktunya
sedang pejuang dan rakyat tak menggubrisnya.
Pejuang berjaga di seantero kota
tak sudi dihina lagi oleh Belanda
yang membonceng tentara NICA
lalu berkuasa kembali di bumi tercinta.
Hingga tiba pada waktunya
bom dimuntahkan dari udara
lalu meluluhlantakkan segalanya
karena NICA yang murka.
Tentara dan tank Inggris menggempur Surabaya dari darat dan laut meriam membombardir kota
tapi pejuang tak gentar menghadapinya
dengan semangat baja menggelora di dada.
Tentara pejuang, milisi, kiai, dan santri
berlaga demi tegaknya ibu pertiwi
dengan teriakan Allah Akbar berkali-kali
dilambari tekad yang tak lagi mati.
Dengan bambu runcing dan senjata seadanya
para pejuang merangsek tentara gurka
Bung Tomo membakar semangat mereka
hingga pertempuran makin membinasa.
Teriakan Allah Akbar terus mengumandang
menyemangati mereka di medan perang
tak penting kalah atau menang
karena republik ini mesti tetap terpancang.
Pertempuran berkobar hingga tiga minggu
meminta korban beribu-ribu
membuat hati menjadi pilu
dan langit pun menjadi kelabu.
Darah tertumpah di Surabaya
mengalir sendu ke mana-mana
aromanya wangi serupa bunga
menjadi pupuk Indonesia merdeka.
Puisi Karya: Syukur Budiardjo
Kategori Puisi: Puisi Perjuangan